Duapuluh enam tahun lalu, tepatnya 7 Juli 1974 kita teringat pada Belanda dengan Total Football-nya. Saat itu sedang berlangsung final piala dunia antara Belanda versus Jerman. Siapa saja yang merasa waras saat itu pasti memilih menjagokan Belanda yang keluar sebagai juara daripada Jerman. Orang Jerman sendiri jika ditanya tanpa memedulikan rasa nasionalisme pastilah akan menjawab hal serupa.
Belanda di bawah otak Michel dan kaki Johan Cruyff adalah sebuah imaji tentang ritme permainan sepakbola. Bagaimana membuat sebuah pola taktik menyerang tanpa perlu khawatir pertahanan menjadi longgar, bahkan sebaliknya, macam apa rasanya memiliki maestro secerdas Cruyff, seperti apa jalannya menyajikan sebuah tontonan atraktif yang mampu membuat lawan dan penonton terkagum-kagum, adalah sederet pertanyaan yang telah tuntas dijawab oleh Belanda. Satu-satunya pertanyaan yang saat itu belum dijawab Belanda adalah: mampu memberikan (gelar) apa Total Football bagi sebuah bangsa bernama Belanda?
Malam itu sebuah jawaban dikeluarkan oleh sang maestro, ketika dua gol dari Paul Breitner dan Gerd Muller memangkas sebiji gol Johan Neskens: "Keindahan akan selalu dikenang, bahkan melebihi kemenangan."
Belanda di bawah otak Michel dan kaki Johan Cruyff adalah sebuah imaji tentang ritme permainan sepakbola. Bagaimana membuat sebuah pola taktik menyerang tanpa perlu khawatir pertahanan menjadi longgar, bahkan sebaliknya, macam apa rasanya memiliki maestro secerdas Cruyff, seperti apa jalannya menyajikan sebuah tontonan atraktif yang mampu membuat lawan dan penonton terkagum-kagum, adalah sederet pertanyaan yang telah tuntas dijawab oleh Belanda. Satu-satunya pertanyaan yang saat itu belum dijawab Belanda adalah: mampu memberikan (gelar) apa Total Football bagi sebuah bangsa bernama Belanda?
Malam itu sebuah jawaban dikeluarkan oleh sang maestro, ketika dua gol dari Paul Breitner dan Gerd Muller memangkas sebiji gol Johan Neskens: "Keindahan akan selalu dikenang, bahkan melebihi kemenangan."
0 komentar:
Posting Komentar